Hidup di Dua Dunia

Aniesa Pramitha
4 min readMay 20, 2023

--

Image: Creative Market/Pinterest

Bertumbuh dan berkembang di dua dunia yang berbeda memang sedikit rumit. Di satu sisi, aku bisa mengenal adanya perbedaan dan menghargai hal tersebut. Di sisi lain, terkadang hal itu justru membingungkan arah langkahku.

Aku tumbuh di sebuah kota kecil di bagian barat Jawa Timur. Bukan kota yang spesial karena mungkin tak banyak orang yang tahu. Namun, banyak nilai-nilai kehidupan yang aku ambil di sana, setidaknya sampai usia 18 tahun.

Menuju usia 19 tahun, aku mendapatkan kesempatan untuk merantau ke ibukota. Atau lebih tepatnya, di kota penyangga ibukota. Aku diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk berkuliah di sebuah kampus bergengsi di Indonesia lewat jalur undangan. Itu artinya, perjuanganku selama tiga tahun SMA tidaklah sia-sia. Ada manfaatnya juga aku menahan diri untuk tidak ikut nongkrong sana-sini. Meski terkadang, aku merasa menyesal tidak menikmati masa putih abu-abu layaknya cerita di film-film remaja bergenre komedi romantis.

Setelah berhasil menyelesaikan kuliah selama empat tahun, aku melanjutkan langkahku untuk bekerja di ibukota. Ya, kini aku berada di pusat Indonesia, Jakarta.

Kehidupan di sini rasanya cepat sekali. Orang-orang berlalu-lalang tanpa saling menyapa. Mereka bahkan tak peduli kalau tak sengaja menyenggol orang lain. Mereka seakan tak punya waktu, barang sedetik saja, untuk meminta maaf. Rasanya, kehilangan satu detik sama dengan kehilangan satu juta kesempatan di depan sana.

Hal itu tentu berbeda jauh dengan kota kelahiranku. Di sana, rasanya satu hari punya lebih dari 24 jam. Bagaimana tidak, orang-orang di sana begitu santai menikmati hidup. Setiap pagi, mereka masih punya kesempatan untuk sarapan bersama keluarga sebelum beraktivitas. Malamnya pun, mereka masih punya waktu untuk menonton televisi dan bercengkrama bersama keluarga sebelum pergi tidur.

Oke, kembali lagi ke Jakarta.

Tak hanya serbacepat, orang-orang di sini sangat visioner. Mereka berlomba-lomba membuat tujuan hidup setinggi mungkin. Tak sedikit pula yang membuatnya untuk mendapatkan atensi dan impresi dari orang lain. Beberapa visi tersebut bahkan jadi hal yang lumrah dan akhirnya jadi standar hidup di ibukota.

Salah satunya yang mungkin sudah umum adalah: karier dulu, menikah kemudian.

Aku sudah cukup sering mendengar dan membaca cerita tentang orang-orang yang menunda menikah demi mencapai puncak karier. Ada yang menikah di atas usia 30 tahun, 35 tahun, bahkan 40 tahun.

Berdasarkan pengamatannku, mereka ini seperti kurang puas jika belum mencapai puncak kejayaan dalam kariernya. Mimpi mereka seakan tak pernah habis untuk dicapai, sehingga kata ‘menikah’ tak pernah terlintas di pikirannya. Ada pula yang merasa takut untuk menikah, takut berkomitmen, takut tak bisa membiayai keluarga kecilnya, takut jadi orang tua, dan takut-takut yang lainnya.

Hal itu sedikit banyak mempengaruhi pemikiranku. Mungkin aku harus mengikuti gaya hidup mereka, pikirku. Mungkin aku harus berfokus dulu pada karier — yang saat ini masih berada di anak tangga paling bawah. Aku mungkin perlu membahagiakan diriku terlebih dahulu sebelum akhirnya tinggal bersama sosok pria yang nanti akan jadi ayah dari anak-anakku kelak.

Namun, seperti yang kusebutkan di awal, hidup di dua dunia ini memang sedikit rumit. Pikiranku bisa berganti-ganti setiap detiknya hanya dengan melihat kehidupan orang-orang dari kedua dunia tersebut.

Di kota tempat asalku, perempuan seusiaku mayoritas sudah memulai kehidupan baru dengan pasangannya. Bahkan, tak sedikit pula yang lebih muda dariku. Akal sehatku mencoba mengajakku berpikir: Bagaimana bisa mereka memutuskan untuk menikah di usia semuda itu? Bagaimana bisa mereka menikah tanpa memperhatikan kondisi finansial?

Beda dari orang-orang di kota besar, mereka ini seakan tak punya rasa takut dalam menjalani pernikahan. Mereka tak takut berkomitmen, tak takut menanggung biaya keluarga, tak takut jadi orang tua, dan ketidaktakutan yang lainnya. Mereka seakan punya kepercayaan bahwa mereka bisa mencapai mimpi bersama pasangannya. Tak perlu dilakukan sendirian.

Keluargaku, terutama orang tua, tak pernah membebaniku untuk segera menikah. Mereka bahkan memberiku kesempatan lebih banyak untuk mengembangkan diri. Aku syukuri privelese itu. Namun, tak bisa dimungkiri bahwa fenomena sosial di dua dunia yang berbeda itu kerap kali mengganggu pikiranku. Aku jadi sering bertanya-tanya. Ironisnya, semua pertanyaan itu retoris, tak ada jawabannya.

Alih-alih memikirkan apa yang terjadi di sekitarku, aku mencoba membedah satu-persatu terkait hal-hal yang kuinginkan dan tidak kuinginkan.

Apakah aku masih ingin bekerja? Ya

Apakah aku masih ingin melanjutkan pendidikan? Ya

Apakah aku ingin segera menikah? ….

Aku tak bisa menjawab pertanyaan terakhir. Yang aku tahu, aku hanya bosan dengan dunia ini. Aku seperti merasa butuh satu manusia yang setiap hari akan menyambutku pulang. Satu manusia yang akan jadi satu-satunya tempat aman di tengah dua dunia yang kontradiktif itu.

Hal itu membawaku ke kehidupan tiga dunia: masa lalu, masa kini, dan masa depan yang penuh tanda tanya.

--

--

Aniesa Pramitha
Aniesa Pramitha

No responses yet