Maaf dan Ikhlas

Aniesa Pramitha
3 min readNov 17, 2024

--

Image: Vie Studio/Pexels

Minta maaf, memaafkan, dimaafkan. Tahu, kan, apa perbedaan ketiganya?

‘Minta maaf’ berarti memohon permaafan atau pengampunan dari orang lain, terutama dari pihak yang dirugikan. ‘Memaafkan’ berarti memberi maaf atau ampun pada orang yang melakukan kesalahan. ‘Dimaafkan’ berarti sudah mendapat maaf atau ampun dari orang lain.

Namun, tulisan ini bukan soal etimologi bahasa. Aku hanya ingin berefleksi soal minta maaf, memaafkan, dan dimaafkan itu. Pasalnya, ketiga hal itu terkadang muncul hanya untuk formalitas, bukan benar-benar sebagai bentuk penyesalan atas sebuah kesalahan. Bahkan, ‘minta maaf’ juga bisa terlontarkan hanya untuk menenangkan orang yang marah.

Sepanjang hidupku, entah sudah berapa ratusan atau ribuan maaf yang kukatakan pada orang lain. Entah “Aku minta maaf, ya,” atau “Iya, aku maafin kamu.” Namun, rangkaian hal yang terjadi pada minggu ini membuatku sedikit merenungkan kata ‘maaf’.

Sejak didiagnosis mengalami depresi sedang, terkadang aku sering mengilas balik masa lalu. Kira-kira, apa hal yang membuatku seperti ini, ya? Kejadian besar apa yang membentuk luka di jiwaku dan terpendam terlalu lama karena aku merasa masih kuat menahannya?

Ada beberapa kejadian kurang menyenangkan yang tidak bisa kulupakan. Bahkan, kejadian tersebut mempengaruhi kehidupanku sampai sekarang. Aku tak bisa menyebutkan satu-persatu di sini karena itu menyangkut orang banyak. Namun, semua itu berujung pada persoalan yang sama: memaafkan.

Sejujurnya, aku bukan tipe orang yang suka ambil pusing. Masa lalu, biarlah jadi masa lalu. Namun, tak bisa dimungkiri juga kalau aku tidak bisa melupakan kejadian kurang menyenangkan itu. Aku harus “memaafkan” orang-orang yang melukai perasaanku, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Kata ‘maaf’ yang keluar pun sebenarnya hanya formalitas. Sekadar untuk mengalihkan perhatian agar kenangan buruk itu tak muncul lagi. Nyatanya, semua itu tetap ada di ingatan. Mungkin aku harus amnesia dulu untuk melupakannya.

Beberapa hari yang lalu, aku ngobrol sama ibu via WhatsApp tentang keluarga. Topiknya lumayan dalam. Untungnya, emosiku stabil. Tidak seperti dulu yang mudah terbawa emosi ketika membicarakan hal sensitif.

Aku pun menyadari sesuatu. Selama ini yang kulakukan hanyalah kabur dari masalah. Sejujurnya, aku tak bisa menilai apakah itu hal yang benar atau tidak. Keputusanku untuk melakukan itu adalah untuk diriku sendiri. Aku tak mau punya luka lebih dalam lagi.

Di sisi lain, keputusanku ternyata melukai orang lain. Aku tak menyangka hal itu menciptakan masalah layaknya gunung es. Terlihat kecil di luar, tapi terpendam dan lebih besar bagian dalam.

Pada momen itu juga, aku tahu bahwa selama ini aku memaafkan orang yang melukaiku sebagai bentuk formalitas saja. Orang itu bahkan tak pernah minta maaf padaku, tapi aku terpaksa memaafkannya karena suatu hal. Permaafan dariku belum disertai keikhlasan, sehingga aku masih terjebak dalam lingkaran setan yang membuatku trauma.

Kejadian minggu ini membuatku sadar bahwa maaf saja tak cukup. Aku juga harus memastikan bahwa diriku sudah di tahap ikhlas walaupun tak bisa lupa. Berat, memang, dan cukup memakan waktu juga. Namun, cukup membuat lega kalau keduanya dilakukan.

Saat ini aku masih berproses, berusaha memaafkan dan mengikhlaskan kejadian buruk di masa lalu yang membentukku seperti ini. Semoga kamu yang punya pengalaman sepertiku juga bisa melalui proses ini dengan baik, ya.

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Aniesa Pramitha
Aniesa Pramitha

No responses yet

Write a response